Oleh: Toni Nurhadianto |
Kasus
e-KTP ini mengulang kembali pertanyaan “Mengapa
korupsi sering terjadi di negara kita?” apa yang salah?
Komisi pemberantasan korupsi Republik Indonesia (KPK RI) yang didirikan oleh
mantan Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2002 lalu,
menegaskan bahwa Indonesia siap memberantas tindak pidana
korupsi. Saat ini, Indonesia berada pada tahap mengkhawatir, pasalnya telah
banyak sejumlah kasus tindak pidana korupsi dari A-Z yang terjadi di negeri
ini.
Setelah
sekian maraknya isu mengenai penyuapan uang rakyat yang dilakukan oleh pejabat
tinggi negara, baru-baru ini Indonesia kembali berduka dengan dikejutkannya
kasus penyelewengan dana e-KTP dan menyebutkan sejumlah nama-nama pejabat
publik yang terindikasi menerima kucuran dana tersebut. KPK menduga ada
perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan
kerugian negara terkait pengadaan proyek KTP elektronik dengan potensi kerugian
negara mencapai Rp 2,3 Triliun. Akibat peristiwa ini, tidak hanya nama-nama yang
bersangkutan yang tercoreng tetapi juga merugikan kas negara dalam jumlah besar
dan mencoreng nama baik bangsa Indonesia di pergaulan internasional.
Presiden
Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada KPK untuk serius dan
profesional dalam menangani serta membongkar korupsi berjamaah yang merugikan
negara dan melibatkan sejumlah pejabat publik.
Kasus
e-KTP ini mengulang kembali pertanyaan “Mengapa
korupsi sering terjadi di negara kita?” apa yang salah?
Padahal
jelas bahwa korupsi merupakan
suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, mempergunakan hak, wewenang dan
jabatannya guna memperoleh suatu keuntungan pribadi. Korupsi pula merupakan
tindakan yang melawan hukum.
Jika dipahami lebih mendalam pada
sejumlah pelaku kasus e-KTP, justru mereka yang rata-rata mengenyam pendidikan
tinggi, bergelar sarjana, master, hingga doktor. Terkadang sulit dipercaya, seseorang
yang dipandang jujur, taat beragama, berpendidikan tinggi, dari lingkungan
sosial yang dihormati, bahkan dari kalangan berada, ternyata terlibat kasus
korupsi.
Ketika
seseorang berperilaku tidak etis dengan melakukan korupsi, pertanyaan besar
yang melatar belakangi “mengapa seseorang dapat melakukan hal tersebut?
Ada
salah satu teori yang sering dikaitkan dengan kecenderungan seseorang melakukan
korupsi, yaitu teori yang di kenal dengan fraud triangle. Teori
ini dikemukakan oleh Donald R. Cressey pada tahun 1950 untuk menjelaskan alasan
mengapa seseorang melakukan kecurangan. Tiga faktor yang melatar belakangi terbentuknya teori ini adalah tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization).
Tekanan merupan keadaan dimana seseorang merasa
terancam dan dalam kondisi yang sulit. Keadaan seperti ini dapat menjadi
motivasi bagi seseorang untuk melakukan sebuah tindakan. Tekanan ini dapat bersal dari
internal maupun eksternal. Tekanan dari internal biasanya berupa gaya hidup
yang mewah, bermegah-megahan dan merasa bahwa kebutuhannya selalu kurang atau
tidak pernah merasa puas. Tekanan dari eksternal dapat berupa kondisi politik, takut
kehilangan jabatan, merasa segan hingga tekanan yang melibatkan pilihan apabila seseorang tidak melakukan
tindak kecurangan maka dirinya tidak akan dapat selamat dari lingkungan
tersebut.
Kesempatan akan timbul saat sistem pengendalian
internal suatu organisasi lemah dan kurangnya pengawasan atau penyalahgunaan wewenang. Organisasi dengan pengendalian internal yang lemah akan memiliki banyak
celah yang menjadikan kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Biasanya
ini terjadi di pemerintahan yang notabene sistem pengendaliannya masih banyak
yang harus diperbaiki. Dibandingkan dengan sistem organisasi privat sistem
organisasi publik masih sangat riskan terhadap tindak kecurangan, maka tak
jarang banyak pejabat publik memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melakukan korupsi.
Rasionalisasi adalah pemikiran yang menjustifikasi tindakannya sebagai
suatu perilaku yang wajar. Association of
Certified Fraud Examiners (ACFE) menyebutkan bahwa rasionalisasi dapat
diartikan sebagai tindakan yang mencari alasan pembenaran oleh orang-orang yang
merasa dirinya terjebak dalam suatu keadaan yang buruk. Pembenaran ini bisa
terjadi saat seseorang merasa berhak mendapatkan sesuatu yang lebih. Seseorang
merasa berhak mendapatkan gaji, posisi dan kemapanan materi karena telah lama
mengabdi atau berkontribusi pada suatu organisasi. Hal ini yang memicu
seseorang berperilaku tidak etis dan merasa bahwa yang dilakukannya adalah
sah-sah saja.
Kasus e-KTP merupakan salah satu
tindakan kecurangan, bagaimanapun juga, tindakan mementingkan diri sendiri dan
merugikan pihak lain berupa korupsi adalah perbuatan yang salah, perbuatan yang
tidak dibenarkan dalam sudut pandang agama maupun hukum negara. Teori fraud triangle memberikan pemahaman bahwa negara Indonesia perlu berkaca
kembali guna memperbaiki apa yang salah di negeri ini.
Selain itu, sistem pengendalian internal
merupakan benteng pertahanan dalam meminimalisasi terjadinya kecurangan, maka dalam
organisasi pemrintahan harusnya lebih menguatkan sistem pengendalian
internalnya, baik yang berkaitan dengan SDM atau teknologi yang digunakan. Adanya
sistem pengendalian yang mumpuni diharapkan orang-orang yang berniat melakukan
kecurangan keuangan baik itu disebabkan karena tekanan, kesempatan dan
rasionalisasi akan sulit dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar