Terungkapnya kasus pungutan liar
(pungli) di lembaga pemerintahan menjadi tamparan keras bagi bangsa
Indonesia. Setelah ke sekian kalinya kasus korupsi terbongkar, ini
menjadi salah satu bukti baru bahwa tingkat moralitas bangsa Indonesia
masih berada di titik terendah. Akibat peristiwa ini, tidak hanya nama
baik lembaga yang tercoreng tetapi juga melukai nama baik bangsa
Indonesia di mata dunia.
Pungutan liar (pungli) adalah tindakan
memungut biaya atau meminta sejumlah pembayaran tanpa dilandasi
ketentuan yang resmi atau peraturan yang ditetapkan yang dilakukan oleh
orang tertentu atau biasanya oleh oknum petugas atau oknum pejabat
negara. Operasi tangkap tangan (OTT) pungutan liar oleh Polri terhadap
staf di Kementerian Perhubungan pada 11 Oktober 2016 lalu yang bermula
dari laporan masyarakat mengeni adanya praktik pungli, menunjukkan
buruknya sistem kinerja pelayanan publik.
Bahkan, Presiden Joko Widodo
(Jokowi), telah menghimbau kepada seluruh jajaran instansi terutama
instansi pelayanan untuk tidak melakukan pungutan liar dan jika sampai
melakukan maka akan segera ditangkap dan dipecat. (kompas.com) Operasi
tangkap tangan ini merupakan salah satu bentuk dari tindakan
whistleblowing.
Whistleblowing
Salah satu hak anggota
organisasi terhadap organisasi adalah melakukan whistleblowing.
Whistleblowing dilakukan sebagai bentuk bahwa seseorang merasa
memiliki tanggung jawab moral terhadap orang lain agar orang lain
tersebut tidak dirugikan. Dalam buku yang berjudul Business of Ethics:
Concepts and Cases karangan Manuel G Velasquez, whistleblowing
merupakan usaha seorang anggota atau mantan anggota organisasi yang
mengungkapkan tindakan merugikan yang dilakukan oleh organisasi.
Whistleblowing dapat
bersifat internal dan eksternal. Jika pelanggaran dilaporkan kepada
pihak-pihak tertinggi dalam organisasi disebut whistleblowing internal,
sedangkan whistleblowing eksternal adalah jika pelanggaran dilaporkan
kepada individu-individu di luar organisasi seperti media surat kabar
atau lembaga organisasi publik lainnya. Adapun pengungkap pelanggaran
disebut whistleblower. Dalam hal ini, kasus pengungkapan pungli di
Kementerian Perhubungan dan sejumlah lembaga lainnya merupakan
whistleblowing yang bersifat internal.
Praktik whistleblower sangat
strategis dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, namun sejauh ini
paket kebijakan hukum yang khusus mengatur perlindungan hukum bagi
whistleblower tampaknya masih lemah. Hal ini yang terkadang membuat para
anggota organisasi menjadi takut dan enggan untuk mengungkap kejahatan
yang terjadi.
Bagaimanapun, whistleblower
merupakan pihak yang berpotensi mendapat ancaman, intimidasi,
intervensi, tuntutan balik dari pelaku kejahatan atau mungkin
diskriminasi di tempat kerja. Oleh karena itu, whistleblower perlu
mendapat keadilan berupa perlindungan hukum atas tindakannya
mengungkapkan kejahatan.
Di Indonesia, perlindungan
terhadap whistleblower diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
yang merupakan perubahan atas UU No 13/2006. UU No 31/2014 tidak secara
langsung menyebutkan perlindungan terhadap whistleblower, tetapi
disebut sebagai perlindungan terhadap saksi dan korban. Sesuai dengan
UU ini, bahwa salah satu lembaga yang memiliki wewenang dalam
memberikan perlindungan dan hak-hak tertentu kepada saksi dan korban
adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tujuannya untuk
memberikan bantuan yang dibutuhkan saksi atau korban dan rasa aman dari
berbagai ancaman atau gangguan.
Namun, UU ini dirasa belum
cukup memberikan perlindungan kepada saksi dan atau korban. UU tersebut
belum secara jelas menyatakan batas akhir waktu perlindungan.
Bagaimanapun, sebenarnya, saksi maupun korban yang telah mengungkapkan
suatu tindakan pelanggaran atau pidana akan selalu merasa terancam
meskipun telah ditetapkan keputusan atas tindakan pelanggaran atau
pidana tersebut oleh lembaga peradilan. Bahkan, setelah pelaku bebas
dari hukuman, ancaman dan gangguan kemungkinan bisa saja terjadi.
Selain itu, seharusnya tidak
hanya korban yang mendapat penanganan psikologis, tetapi sebaiknya
juga diberikan kepada saksi dan pelaku. UU No 31/2014, mendefinisikan
saksi sebagai orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri
tindakan pelanggaran atau tindakan. Dalam hal ini, kemungkinan apa yang
saksi dengar, lihat atau alami dapat mempengaruhi kondisi psikologisnya
dan dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupannya, sehingga perlu
dilakukan penanganan psikologis untuk memulihkan kondisi psikologisnya
pada keadaan normal atau seperti biasanya. Bagi pelaku, dipandang perlu
mendapat rehabilitasi psikologis sebagai upaya antisipasi setelah
pelaku bebas dari hukuman atau tahanan. Diharapkan setelah bebas, pelaku
tidak melakukan tindakan pelanggaran lagi.
Pada akhirnya, praktik
whistleblower sebagai pengungkap tindakan pelanggaran, patut diapresiasi
dan diberikan penghargaan. Dengan adanya apresiasi dan penghargaan
tersebut, diharapkan dapat memberikan sinyal positif kepada siapa saja
untuk berani mengungkap dan melaporkan segala tindakan pelanggaran dan
pidana. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mendukung
pemberantasan tindakan pelanggaran yang tidak hanya terjadi di
lembaga-lembaga pemerintahan, tetapi juga di lembaga-lembaga swasta.
Sehingga, terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme dapat segera terealisasi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar